Awal berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dengan adanya hasrat kuat mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa berlandaskan Ahlussunnah wal Jama'ah berkultur Nahdlatul Ulama. Hal ini wajar, mengingat carut marutnya situasi politik bangsa Indonesia dalam kurun waktu 1950-1959, tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan, dan banyaknya organisasi mahasiswa yang bermunculan di bawah underbouw parpol ataupun organisasi sosial keagamaan. Seperti SEMMI (dengan PSII), KMI (dengan PERTI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HMI (dekat dengan Masyumi).
Hal tersebut kemudian menimbulkan kegelisahan dan hasrat yang kuat para intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi tersendiri sebagai wadah mahasiswa NU untuk menyalurkan aspirasi dan pengembangan potensi diri. Akan tetapi, PBNU tak kunjung memberikan lampu hijaunya. Karena NU sudah memiliki organisasi bernama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama), yang dirasa mampu menjadi wadah bukan hanya untuk pelajar saja, namun juga untuk mahasiswa NU secara umum.
Meskipun pada tahun 1955, mahasiswa NU sempat mendirikan organisasi bernama IMANU (Ikatan Mahasiswa NU), di Bandung berdiri PMNU (Persatuan Mahasiswa NU) dan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa NU), namun organisasi ini tak berdiri lama, karena PBNU tidak cepat-cepat memberikan restu. Bisa dipahami, kala itu IPNU baru seumur jagung, sementara pengurus IPNU mayoritas adalah mahasiswa NU. Bisa dibayangkan, jika mendirikan organisasi baru akan susah untuk mengelola dan mengurus kedua organisasi yang berada di bawah naungan NU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU terus berlanjut hingga muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Namun, lagi-lagi gagasan ini kembali ditentang dengan dalih bahwa IPNU pada waktu itu masih baru terbentuk yang membutuhkan pembenahan dan konsolidasi matang. Sebagai langkah kompromis, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuklah Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang menjadi wadah dan aspirasi mahasiswa NU.
Namun dalam perjalanannya, selalu terjadi ketimpangan pelaksanaan program organisasi IPNU dan Departemen PT-nya. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, pertama, kondisi obyektif menunjukkan bahwa keinginan, dinamika dan gerakan mahasiswa berbeda dengan keinginan para pelajar. Kedua, dengan hanya membentuk departemen dalam IPNU, mahasiswa NU tidak bisa masuk sebagai anggota PPMI (Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia), sebab PPMI hanya bisa menampung ormas mahasiswa. Ketiga, situasi sosial-politik bangsa Indonesia mendesak supaya NU memiliki organisasi mahasiswa sebagai wadah pengkaderan intelektual maupun kepemimpinan.
Oleh karena itu, legalisasi organisasi mahasiswa NU senantiasa diperjuangkan dan mencapai puncaknya pada Konferensi Besar (KONBES) IPNU di Kaliurang, Yogyakarta pada 14-17 Maret 1960. Dari Konferensi Besar tersebut kemudian menghasilkan keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU dan pembentukan tim perumus pendirian organisasi yang beranggotakan 13 orang, yaitu:
- Sahabat A. Cholid Mawardi (Jakarta)
- Sahabat M. Said Budairi (Jakarta)
- Sahabat M. Subich Ubaid (Jakarta)
- Sahabat M. Makmun Syukri, BA (Bandung)
- Sahabat Hilman (Bandung)
- Sahabat H. Ismail Makky (Yogyakarta)
- Sahabat Munsif Nachrowi (Yogyakarta)
- Sahabat Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta)
- Sahabat Laili Mansur (Surakarta)
- Sahabat Abdul Wahab Djaelani (Semarang)
- Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya)
- Sahabat M. Cholid Marbuko (Malang)
- Sahabat A. Husein (Makassar)
Beberapa orang dari ketiga belas panitia tersebut, yaitu Hisbullah Huda, M. Said Budairy dan Makmun Sukri BA kemudian menghadap kepada KH. Dr. Idham Khalid selaku ketua umum PBNU kala itu untuk meminta doa restu. KH. Dr. Idham Khalid memberi nasehat supaya organisasi yang akan dibentuk nanti benar-benar bisa diandalkan sebagai kader NU. Setelah menyampaikan nasehat, KH. Idham Khalid memberikan lampu hijaunya terkait pelaksanaan musyawarah mahasiswa.
Selanjutnya, pada 14-16 April 1960 dilaksanakanlah Musyawarah Mahasiswa NU se-Indonesia bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya, sebagai tindak lanjut keputusan Konbes IPNU di Kaliurang, Yogyakarta. Sempat muncul perdebatan mengenai nama organisasi yang akan dibentuk. Namun pada akhirnya yang disepakati adalah nama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang didukung oleh delegasi Surakarta dengan rumusan makna sebagai berikut:
Makna “Pergerakan”, pada awalnya huruf “P” dalam PMII memiliki tiga alternatif kepanjangan, yaitu pergerakan, perhimpunan, dan persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” tersebut merupakan kepanjangan dari “pergerakan”. Dengan hujjah sifat mahasiswa yang selalu dinamis dan bergerak secara aktif.
Makna “Mahasiswa”, adalah generasi muda yang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi yang mempunyai identitas diri yang terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial dan insan mandiri.
Makna “Islam” yang dimaksud di sini adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dipegang teguh oleh Nahdlatul Ulama dalam setiap pemikiran dan sikapnya.
Makna “Indonesia”, adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 1945.
Pada Musyawarah Mahasiswa NU tersebut juga menghasilkan 3 formatur yang mendapatkan tugas untuk menyusun kepengurusan, yaitu Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, A. Chalid Mawardi sebagai ketua satu dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Selain itu juga menghasilkan penetapan peraturan dasar PMII yang berlaku pada 17 April 1960. Tanggal inilah yang kemudian dinyatakan sebagai hari lahirnya PMII secara resmi.
Berikut ini adalah ketua umum PB PMII mulai dari awal berdirinya hingga sekarang:
- Sahabat Mahbub Djunaidi (1960 – 1967)
- Sahabat M. Zamroni (1967 – 1973)
- Sahabat Abduh Paddare (1973 – 1977)
- Sahabat Ahmad Bagdja (1977 – 1981)
- Sahabat Muhyiddin Arubusman (1981 – 1985)
- Sahabat Suryadharma Ali (1985 – 1988)
- Sahabat M. Iqbal Assegaf (1988 – 1991)
- Sahabat Ali Masykur Musa (1991 – 1994)
- Sahabat Muhaimin Iskandar (1994 – 1997)
- Sahabat Syaiful Bahri Anshori (1997 – 2000)
- Sahabat Nusron Wahid (2000 – 2003)
- Sahabat A. Malik Haramain (2003 – 2005)
- Sahabat Hery Herianto Azumi (2005 – 2008)
- Sahabat M. Rodli Khaelani (2008 – 2011)
- Sahabat Adin Jauharuddin (2011 – 2014)
- Sahabat Aminuddin Ma’ruf (2014 – 2017)
- Sahabat Agus Herlambang (2017 – 2021)
- Sahabat M. Abdullah Syukri (2021 – 2024)
Dari apa yang sudah disampaikan di atas jelas bahwa pendirian PMII murni berawal dari inisiatif pemuda NU. Meski selanjutnya PMII mengambil langkah untuk independen dari NU sebagai sebuah prinsip kedewasaan dan kedinamisan organisasi yang tertuang dalam Deklarasi Munarjati, 14 Juli 1972 di Munarjati, Malang.21 Akan tetapi, selang beberapa tahun lamanya, PMII mendeklarasikan interdependensi PMII-NU dalam Kongres X PMII pada tanggal 17 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
0 Komentar